Minggu, 03 Oktober 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGUE HEMORAGIC FEVER (DHF)


A.    KONSEP DASAR PENYAKIT DHF
1.      Definisi
Demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. (Soegijanto, 2006: 61)
Demam berdarah dengue adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak, remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, nyeri pada penggerakan bola mata, trombositopenia ringan dan bintik-bintik pendarahan (petekie) spontan. (Hendrawanto, 2004: 417).
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Suriadi & Yuliani, 2001).
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus, dibedakan menjadi 4 serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty yang terdapat pada anak, remaja atau orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, nyeri pada penggerakan bola mata, trombositopenia ringan dan bintik-bintik pendarahan (petekie) spontan.


2.      Epidemiologi
Wabah Dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia dan selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai Dengue telah digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim sedang. Vektor penyakit ini berpindah dan memindahkan penyakit dan virus Dengue melalui transportasi laut. Seorang pakar bernama Rush telah menulis tentang Dengue berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di Philadelphia tahun 1780. Kebanyakan wabah ini secara klinis adalah demam Dengue walaupun ada beberapa kasus berbentuk haemorrhargia. Penyakit DBD di Asia Tenggara ditemukan pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958 (Soegijanto S., Sustini F, 2004) dan dilaporkan menjadi epidemi di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965), dan Calcutta (1963) (Soedarmo, 2002).
DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh tahun 1970. Kasus pertama di Jakarta dilaporkan tahun 1968, diikuti laporan dari Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972) (Soedarmo, 2002). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973), serta Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (1974). DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia sejak tahun 1997 dan telah terjangkit di daerah pedesaan (Suroso T, 1999). Angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1983), dan mencapai angka tertinggi tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang (Soegijanto S., 2004).
Selama awal tahun epidemi di setiap negara, penyakit DBD ini kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur kurang dari 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai negara melaporkan bahwa kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi kejadian luar biasa (Soegijanto S., 2004).
Jumlah kasus dan kematian Demam Berdarah Dengue di Jawa Timur selama 5 tahun terakhir menunjukkan angka yang fluktuatif, namun secara umum cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 dan 2004 terjadi lonjakan kasus yang cukup drastis karena adanya KLB, yaitu tahun 2001 sebanyak 8246 penderita (angka insiden: 23,50 per-100 ribu penduduk), dan tahun 2004 (sampai dengan Mei) sebanyak 7180 penderita (angka insidens: 20,34 per 100 ribu penduduk). Sasaran penderita DBD juga merata, mengena pada semua kelompok umur baik anak-anak maupun orang dewasa, baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan, baik orang kaya maupun orang miskin, baik yang tinggal di perkampungan maupun di perumahan elite, semuanya bisa terkena Demam Berdarah (Huda AH., 2004).
Case Fatality Rate penderita DBD pada tahun 2004 sebesar 0,7 dan insidence rate sebesar 45. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus, prevalensi serotipe virus Dengue, dan kondisi metereologis. DBD secara keseluruhan tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki (Soegijanto S., 2003; Soegijanto S., Sustini F., 2004). Distribusi umur pada mulanya memperlihatkan proporsi kasus terbanyak adalah anak berumur 15 tahun.

3.      Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954. Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan. Infeksi dengan salah satu tipe serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.
Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di samping pula Aedes albopictus. Vektor ini mepunyai ciri-ciri:
·               Badannya kecil, badannya mendatar saat hinggap
·               Warnanya hitam dan belang-belang
·               Menggigit pada siang hari
·               Gemar hidup di tempat – tempat yang gelap
·               Jarak terbang <100 meter dan senang mengigit manusia
·               Bersarang di bejana-bejana berisi air jernih dan tawar seperti bak mandi, drum penampung air, kaleng bekas atau tempat-tempat yang berisi air yang tidak bersentuhan dengan tanah.
·               Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk sekitar 10 hari.

4.      Faktor predisposisi
·         Lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih
·         Banyaknya genangan air pada musim hujan
·         Tidak menutup tempat penampungan air
·         Kurangnya informasi mengenai DHF

5.      Patofisiologi
Virus hanya dapat hidup dalam sel hidup sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat bergantung pada daya tahan manusia.
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen (Suriadi & Yuliani, 2001). Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DHF dapat terjadi bila seseorang setelah terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi .
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali). Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis setelah pemberian plasma/ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang destruktif atau akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakologis yang bekerja singkat.  Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit. Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah.
Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktivasi system koagulasi. Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Trombositopenia yang dihubungkan dengan menungkatnya megakariosit muda dalam sum-sum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadinya dalam sistem retikuloendotelial. Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemorrhagic, renjatan terjadi secara akut. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik.
                                                                      
6.      Klasifikasi
            WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
·         Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
·         Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. Ditemukan pula perdarahan kulit.
·         Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt) tekanan nadi sempit , tekanan darah menurun.
·         Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur,anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

7.      Gejala klinis  
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary reffil time lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah), nyeri pada otot dan tulang, abdomen dan ulu hati, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan, lidah kotor, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Ruam berikutnya mulai antara hari 3-6, mula-mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis melena, hematuria. Hati, limpa dan kelenjar getah bening. umumnya membesar dan nyeri tekan, tetapi pembesaran hati tidak sesuai dengan beratnya penyakit.uga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda  anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat.

8.      Pemeriksaan Fisik
·         Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
·         Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat trjadi DSS
·         Sistem Cardiovaskuler
Pada grde I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
·         Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.
·         Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah.
·         Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.

9.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin untuk penderita DBD adalah jumlah trombosit dan kadar hematokrit. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat menjadi pertanda penyakit demam berdarah adalah:
o   Ig G dengue positif.
o   Trombositopenia, yaitu menurunnya jumlah trombosit darah hingga kurang dari 100.000/mm3.
o   Hemokonsentrasi; peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20% atau lebih.
Dua kriteria klinis pertama, ditambah dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura (tampak melalui rontgen dada) dan atau hipoalbuminemia menjadi bukti penunjang adanya kebocoran plasma. Bukti ini sangat berguna terutama pada pasien yang anemia dan atau mengalami perdarahan berat. Pada kasus syok, jumlah hematokrit yang tinggi dan trombositopenia memperkuat diagnosis terjadinya Dengue Shock Syndrom (WHO, 2004).

o   Leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofilyang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
o   Isolasi virus
o   Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
o   Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto dada, BUN, creatinin serum.
o   Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
1)      SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2)      Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3)      Waktu perdarahan memanjang.
4)      Asidosis metabolik.
5)      Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
b.      Foto toraks lateral dekubitus kanan.
Terdapat efusi pleura dan bendungan vaskuler

9.  Prognosis
Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain.
Kematian disebabkan oleh banyak faktor, antara lain :
1.      Keterlambatan diagnosis
2.      Keterlambatan diagnosis shock
3.      Keterlambatan penanganan shock
4.      Shock yang tidak teratasi
5.      Kelebihan cairan
6.      Kebocoran yang hebat
7.      Pendarahan masif
8.      Kegagalan banyak organ.

10. Therapy/ tindakan penanganan
Belum atau tanpa renjatan:
1)      Grade I dan II :
a) Minum banyak 1,5 – 2 Liter / hari, berupa air gula, susu teh dengan gula atau air buah.
b) Pemberian cairan intravena, bila :
 1. Penderita muntah-muntah terus
 2. Intake tidak terjamin
 3. Pemeriksaan berkala hematokrit cenderung meningkat terus. Jenis cairan RL atau asering 5 10 ml / kg bb / hari. IVFD dalam 24 jam, bila diperlukan infuse lanjutan diberi dengan hanya memperhitungkan NWL dan CWL atau 5-7 ml / kg bb / hari

Dengan Renjatan ;
2)      Grade III
Infus asering 5 / RL dengan kecepatan 20 tetes permenit / kg bb/ jam. Setelah renjatan teratasi :
§ Tekanan Sistol >80 mmHg
§ Nadi jelas teraba
§ Amplitudo nadi cukup besar
c) Kecepatan tetesan diubah jadi 10 ml / kg bb / jam selam 4 – 8 jam. Bila keadaan umum tetap bik, jumlah caoiran dibatasi sekitar 5 – 7 ml / kg bb / jam dengan larutan RL / Dextrose 5 % 1:1 atau asering 5. Infus dipertahankan 48 jam setelah renjatan
d) Pada renjatan berat dapat diberikan cairan plasma atau pengganti plasma (expander plasma / dextran L) denga kecapatan 10 – 20 ml / kg bb / jam dan maksimal 20 – 30 ml / kg bb / hari. Dalam hal ini dipasang 2 infus 1 untuk larutan RL dan 1 untuk cairan plasma atau pengganti plasma.
3). Grade IV
Infus asering 5 / RL diguyur atau dibolus 100-200 ml sampai nadi teraba serta tensi terukur. Biasanya sudah tercapai dalam 15-30 menit.

Tindakan Lain
1) Transfusi darah dengan indikasi :
a) Perdarahan gastrointestinal berat: melena, hematemesis.
b) Dengan pemeriksaan hb, hct secara periodic terus terjadi penurunan, sedang penderita masih dalam renjatan atau keadan akut semakain menurun.
Jumlah yang diberikan 20 ml / kg bb / hari dapat diulangi bila perlu
2) Anti konvulsan, bila disertai kejang maka diberi :
a) Diasepam 10 mg secara rectal atau intra vena
b) Phenobarbital 75 mg secara IM sesuai penatalaksanaan kejang pada anak
3) Antipiretik dan kompres pada penderita dengan hiperpireksi. Obat yang diberikan ialah paracetamol 10 mg / kg bb / hari
4) Oksigen diberikan pada pendertita renjatan dengan cianosis 2 – 4 L / menit
5) Antibiotika pada penderita dengan renjatan lama atau terjadi infeksi infeksi sekunder
6) Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan ensefalopati

11.  Diagnosis
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
a.       Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
b.      Manifestasi perdarahan :
1)   Uji tourniquet positif
2)   Petekia, purpura, ekimosis
3)   Epistaksis, perdarahan gusi
4)   Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
c.       Hematemesis, melena
d.      Dengan atau tanpa renjatan. Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
e.       Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

12.  Diagnosa Banding
Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
a.       Demam chiku nguya.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
b.      Demam tyfoid
c.       Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.
d.      Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
e.       Purpura trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.

13.   Penatalaksanaan
§  Medik
DHF tanpa Renjatan
-          Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
-          Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres
-          Jika kejang maka dapat diberi luminal  ( antionvulsan ) untuk anak <1th dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.
-          Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat

DHF dengan Renjatan

-          Pasang infus RL
-          Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 – 30 ml/ kg BB )
-          Tranfusi jika Hb dan Ht turun
§  Keperawatan
Pengawasan tanda – tanda Vital secara kontinue tiap jam
-          Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
-          Observasi intik output
-          Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital tiap 3   jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter – 2 liter per hari, beri kompres
-          Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
-          Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2 pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.
Resiko Perdarahan
-          Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena
-          Catat banyak, warna dari perdarahan
-          Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal
Peningkatan suhu tubuh
-          Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik
-          Beri minum banyak
-          Berikan kompres

14.  Pencegahan
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
a.       Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.
b.      Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
c.       Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
d.      Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.
Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
a.       Menggunakan insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
b.       Tanpa insektisida
Caranya adalah :
·         Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
·         Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
·         Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
Selain itu ada 3 cara lain yaitu:                                                                      
a.       Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk dan perbaikan desain rumah.
Sebagai contoh : menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengganti dan menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan? air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah?. Tumpah atau bocornya air dari pipa distribusi, katup air, meteran air dapat menyebabkan air menggenang dan menjadi habitat yang penting untuk larva Aedes aegypti jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.

b.      Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14). Peran pemangsa yang dimainkan oleh copepod crustacea (sejenis udang-udangan) telah didokumentasikan pada tahun 1930-1950 sebagai predator yang efektif terhadap Aedes aegypti (Kay BH., 1996). Selain itu juga digunakan perangkap telur autosidal (perangkap telur pembunuh) yang saat ini sedang dikembangkan di Singapura.

c.       Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan (fogging) (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras dan mengubur barang-barang yang bisa dijadikan sarang nyamuk. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi setempat (Deubel V et al., 2001)


B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
I.                   PENGKAJIAN
1.  Wawancara
a. Biodata klien
Meliputi identitas pasien dan keluarga.
b. Riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan sekarang.
Biasanya klien demam, lemah, sakit kepala, anemia, nyeri ulu hati dan nyeri otot.
- Riwayat kesehatan keluarga.
Sebelumnya apakah ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
- Riwayat kesehatan dahulu
Apakah sebelumnya klien pernah mengalami penyakit yang sama.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis, samnolen, koma (tergantung derajat DHF)
TTV : Biasanya terjadinya penurunan
2) Kepala
- Wajah : Kemerahan (flushig), pada hidung terjadi epistaksis
- Mulut : Perdarahan gusi, muosa bibir kering dan kadang-kadang lidah kotor dan hiperemia pada tenggorokan
- Leher : Tidak ada masalah
- Thorak
3) Paru : Pernafasan dangkal, pada perkusi dapat ditemukan bunyi redup karena efusi fleura
Jantung : Dapat terjadi anemia karena kekurangan cairan
- Abdomen : Nyeri ulu hati, pada palpasi dapat ditemukan pembesaran hepar dan limpa
4) Ekstremitas : Nyeri sendi
5) Kulit : Ditemukan ptekie, ekimosis, purpura, hematoma, hyperemia
3. Analisa data
a. Data Subjektif
Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain :
Breath: sesak napas
Blood: penurunan trombosit, perdarahan
Brain: sakit kepala
Blandder: urine menurun
Bowel: konstipasi
Bone: nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, lemah
Anoreksia (tak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan
Demam atau panas

b. Data Objektif
Data objektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
- Suhu tubuh tinggi: menggigil; wajah tampak kemerahan (flushimg)
- Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)
- Tampak bintik merah pada kulit (petekie)
- kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak buang air kecil dan kelenturan kulit menurun.

II.               DIAGNOSA KEPERAWATAN (PRIORITAS)
b.      PK : Syok Hipovolemik
c.       PK : Perdarahan
1. Hypertermi (peningkatan suhu tubuh) berhubungan dengan proses infeksi virus dengue (viremia).
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia, dan berkurangnya volume plasma.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
4. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit ditandai nyeri pada otot, pegal-pegal pada seluruh tubuh dan sakit kepala.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
6. Cemas berhubungan dengan kondisi dan hospitalisasi.
7. Risiko terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).

III.           RENCANA KEPERAWATAN
NO. DX
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN & KRITERIA HASIL
INTERVENSI
RASIONAL
a.














































b.




































1.
PK: Syok hipovolemik.






































PK: Perdarahan

























Peningkatan suhu tubuh (hypertermi) berhubungan dengan proses infeksi virus dengue (viremia).



Setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan syok hipovolemik dapat teratasi dengan kriteria hasil :
-Volume cairan tubuh kembali normal.
-Kesadaran compos mentis.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal (S: 36-370C, N: 80-100 x/menit, R:20x/menit).


























Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan  perdarahan dapat teratasi, dengan kriteria hasil :
- Tidak terjadi syok hipovolemik.
- Jumlah trombosit meningkat.






















Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan demam pasien teratasi, dengan kriteria hasil :
- Suhu tubuh normal (36 – 37*C).

1. Monitor keadaan umum pasien, Observasi tingkat kesadaran klien.




2. Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, dan kepala agak dinaikkan.

3. Kolaborasi: Pemberian pengobatan penyebab yang mendasari syok hipovolemik, misalnya muntah-muntah/ perdarahan.

4.  Kolaborasi: Penggantian cairan dan darah sesuai indikasi.

1.  Kolaborasi:
Pemberian medikasi, untuk mengatasi perdarahan
2.  Kolaborasi: pemberian transfusi darah sesuai indikasi.
3.  Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.

4.   Anjurkan pasien untuk banyak istirahat.

5.   Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.


1. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 4 jam.

2.  Berikan kompres hangat.





3.  Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
Kolaborasi pemberian obat penurun panas (antipiretik) secara IV/ oral sesuai kebutuhan.

1.  Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terjadi perdarahan, perawat segera mengenali syok.
2.   Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi, hal ini berfungsi untuk redistribusi cairan



3.  Medikasi untuk mengatasi muntah-muntah diberikan, apabila karena perdarahan, dilakukan penekanan pada tempat perdarahan.
4.  Penggantian cairan (juga disebut sebagai resusitasi cairan).


1.      Jika perdarahan tidak segera diatasi dapat menyebabkan syok.

2.      Pemberian transfusi darah bisa mengganti kehilangan darah.
3.      Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
4.      Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan.
5.      Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin.




1.      Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.

2.      Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.
3.      Pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.

4.      Obat penurun panas secara IV memberikan efek yang cepat jika diperlukan dalam keadaan segera.

2.
















Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia, dan berkurangnya volume plasma.




Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan tubuh pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil:
- keseimbangan cairan adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler cepat.













1.  Pertahankan pemasukan dan pengeluaran cairan adekuat

2.  Anjurkan pasien untuk banyak minum.



3.  Catat intake dan output.


4.  Observasi tanda-tanda terjadinya syok

Kolaborasi: awasi pemeriksaan lab misal: Hb/Ht, elektrolit serum.
Kolaborasi: berikan cairan intravena sesuai indikasi.









1.      Pemasukan cairan dapat menurun selama periode krisis karena malaise, anoreksia, dsb.
2.      Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
3.      Untuk mengetahui keseimbangan cairan.
4.      Kekurangan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan syok.
5.      Peningkatan menunjukkan hemokosentrasi.




6.      Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
3.


Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.











Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
- pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.
1.  Observasi dan catat maukan makanan pasien.

2.   Timbang berat badan tiap hari.
3.   Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan/atau makan diantara waktu makan.

4.   Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
5. Berikan dan bantu oral higiene sebelum dan sesudah makan.
6.   Kolaborasi: Konsul dengan ahli gizi

1.      Mengawasi masukan kaori atau kualitas konsumsi makanan.
2.      Mengawasi penurunan berat badan.
3.      Makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan.




4.      Untuk mengetahui status gizi pasien


5.      Meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral.



Membantu dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.

4.
Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit ditandai nyeri pada otot, pegal-pegal pada seluruh tubuh dan sakit kepala.

Setelah diberikan tindakan keperawatan nyeri pasien berkurang dengan kriteria hasil:
- pasien tampak rileks
- pasien menyatakan nyeri hilang/ terkontrol.

1.  Kaji keluhan nyeri, lokasi, karakteristik dan intensitas (skala 0-10).
2.  Observasi petunjuk nyeri non-verbal, misal ekspresi wajah (meringis).

3.  Lakukan pijatan lokal hati-hati pada area yang sakit.
4.  Kolaborasi: berikan analgetik sesuai indikasi.
1. Untuk merencanakan intervensi keperawatan.

2.  Nyeri unik bagi setiap orang, petunjuk nonverbal dapat membantu mengevaluasi nyeri dan terapi
3.  Membantu untuk menurunkan tegangan otot.

4.  Analgetik dapat memblok lintasan nyeri.
5.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan  kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi dengan kriteria hasil :
-  Pasien mampu mandiri dalam melakukan aktivitas.
1.  Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.


2.   Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat








3.   Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.


1.      Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
2.      Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien .
3.      Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

6.
Cemas berhubungan dengan kondisi dan hospitalisasi.














Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas pasien dapat teratasi, dengan criteria hasil :
 -Kecemasan berkurang.
1.   Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
2.   Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
3.   Tunjukkan sifat empati



4.     Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkap-an perasaannya.
5.   Gunakan komunikasi terapeutik

1.      Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien.
2.      Pasien bersifat terbuka dengan perawat.

3.      Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik.
4.      Meringankan beban pikiran pasien




 5. Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.

7.
Risiko terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus)

Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil:
-tidak ada tanda-tanda infeksi; rubor, kalor, tumor, dolor dan fungsiolaesa.

1.  Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan pasien.
2.  Pantau suhu. Catat adanya adanya menggigil dan takikardi dengan atau tanpa demam.
3.  Lakukan perawatan infus setiap hari dan ganti infus set setiap 3 hari.
1.  Mencegah kontamiinasi silang/ kolonisasi bakterial.

2.  Adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi/ penobatan.


3.  Mencegah terjadinya infeksi pada area pemasangan infus.

IV.           EVALUASI

  1. Syok hipovolemik dapat teratasi.
  2. Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
  3. Suhu tubuh pasien normal (36- 37*C), pasien bebas dari demam.
  4. Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
  5. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
  6. Nyeri pasien teratasi.
  7. Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
  8. Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.
9.      Tidak ada tanda-tanda terjadinya infeksi, risiko infeksi teratasi.


Daftar Pustaka

1.      Doenges, E. Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
  1. http://askep.blogspot.com/2008/01/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan_6163.html.
  2. NANDA, Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2005-2006, NANDA International, Philadelphia, 2005.
  3. Price, sylvia A, dkk. 2006. Patofisiologi volume 1. Jakarta:EGC.
  4. Smeltzer, Suzzane C dan Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal  Bedah  Brunner dan Suddarth Volume 1. Jakarta :EGC.